Arsitektur dan Integrasi Sistem Bangunan Tinggi
Bangunan tinggi yang merupakan karya arsitek dibangun untuk mencari keserasian antara bahan dan alam tanpa harus mencederai lingkungan dan bumi, sehingga ruang kota tidak dipadati oleh bangunan gedung. Itulah alasan mengapa bangunan yang didirikan terutama di pusat kota di mana harga lahan sangat tinggi, memilih untuk membangun secara vertikal. Hal ini agar tercapai efektivitas dan efisiensi pemanfaatan ruang kota, serta pertimbangan investasi.
Investasi bangunan tinggi yang sangat besar, menyebabkan perancangan bangunan tinggi perlu dilakukan secara teliti dan terintegrasi serta memenuhi regulasi dan standar keandalan bangunan gedung, sehingga bangunan gedung dapat bertahan untuk waktu yang lama.
1.1. Arsitektur dan Integrasi Sistem Bangunan
Bangunan gedung merupakan refleksi dari masa lalu dan sekarang dengan pertimbangan masa yang akan datang. Oleh karenanya bangunan gedung merupakan kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu yang diintegrasikan dalam bentuk rancangan. Gagasan dasar muncul dari kreativitas sang arsitek, baik dalam bentuk intuisi (black box) maupun dalam bentuk pemrograman yang dapat ditelusuri (glass box). Rancangan tersebut selanjutnya dapat diekspresikan dalam satu atau beberapa massa bangunan, yang tampilan fisiknya dihasilkan dari pertimbangan dan rumusan konsep-konsep sistem bangunan, seperti arsitektural, struktural, mekanikal dan elektrikal, serta lingkungan sekitar.
Gambar 1.1. Integrasi Sistem Bangunan
Bangunan gedung dapat diibaratkan seperti tubuh manusia, di mana sistem pencernaan identik dengan sistem plambing, jaringan syaraf, dapat disamakan dengan sistem deteksi dini (alarm), pembuluh darah yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh yang membawa oksigen diibaratkan sebagai sistem elektrikal, rangka dan tulang belulang merupakan sistem struktur, otot yang menggerakkan anggota tubuh seperti halnya sistem mekanikal, dan kulit serta bagian tubuh yang terlihat dari luar adalah sistem arsitektural (Gambar 1.1). Sistem-sistem yang ada pada bangunan berfungsi secara terpadu dan komprehensif, sehingga perlu dipertimbangkan secara holistik agar diperoleh hasil rancangan akhir yang optimal. Pertimbangan yang hanya didasari atas masing-masing unsur elemen arsitektural dan ranah (domain) pembentuk hasil karya arsitektur, bukan saja akan menghasilkan karya yang sulit dipertanggung jawabkan secara etika moral, tetapi juga akan membawa dampak pada saat pemanfaatan bangunan gedung dengan munculnya berbagai masalah operasional dan kesulitan pemeliharaan/perawatannya yang perlu ditanggung oleh pengguna/penghuni bangunan (user) sepanjang usia manfaat bangunan gedung (building life time) tersebut. Kemajuan dan temuan di berbagai bidang teknologi sangat mendukung karya arsitektur, khususnya di bidang struktural, konstruksi, mekanikal dan elektrikal serta bahan bangunan.
Hal ini membuka peluang bagi arsitek untuk merancang bangunan gedung, bukan saja untuk memberi rasa nyaman dan berwawasan lingkungan, tetapi juga memberi alternatif pilihan agar menghasilkan metode pengoperasian dan pemeliharaan/perawatannya yang lebih ekonomis dan efisien. Urutan integrasi rancangan di antara sistem bangunan yang ada dapat digambarkan pada bagan alir berikut ini (Gambar 1.2).
ruang yang menjadi dasar bagi analisis struktur dan analisis sistem mekanikal, elektrikal dan plambing (MEP), di mana diperiksa kesesuaiannya terhadap regulasi dan standar teknis (Standar Nasional Indonesia – SNI). Setelah semua terpenuhi, dilanjutkan dengan analisis tekno-ekonomi yang ditujukan untuk mengetahui biaya konstruksi/investasi, titik impas dan tingkat pengembalian investasi, serta disesuaikan dengan kesediaan anggaran. Umpan balik yang dihasilkan setelah peninjauan keseuaian atas regulasi dan standar serta anggaran, masing-masing akan menjadi masukan/umpan balik bagi proses rancangan yang berlangsung secara berulang (cyclic).
Khusus terkait analisis tekno ekonomi dimaksudkan untuk mengevaluasi rancangan bangunan gedung, utamanya terhadap optimasi biaya daur hidup bangunan (building life cycle costs). Hal ini penting agar dalam perancangan bangunan gedung, pertimbangan yang dilakukan tidak semata-mata ditujukan pada mendapatkan biaya awal yang rendah, tetapi juga mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat bangunan tersebut dimanfaatkan, termasuk pertimbangan biaya operasional, pemeliharaan dan perawatan bangunan (Gambar 1.3).
Dua gambar berikut (Gambar 1.4) menunjukkan regulasi yang digunakan dalam penyelenggaraan bangunan gedung, mulai dari tahap pembangunan, pelaksanaan, pemanfaatan hingga tahap pembongkaran bangunan gedung.
Sumber: Juwana, 2021 diperbaharui
Gambar 1.4. Acuan Regulasi dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Sumber: Juwana, 2021 diperbaharui
Gambar 1.5. Acuan SNI dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Sumber: Juwana, 2020 dimodifikasi
Gambar 1.6. SNI untuk Bangunan Gedung
Perkembangan bangunan tinggi dimulai di Amerika Serikat pada akhir abad 19 yang dimulai setelah terjadi kebakaran besar di kota Chicago pada tanggal 8 – 10 Oktober 1871 yang menewaskan sekitar 300 orang dan menyebabkan musnahnya sekitar 17.500 bangunan gedung di areal seluas 9 km2 dan lebih dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggalnya. Setelah kejadian ini kota Chicago mengubah peraturan bangunan gedungnya untuk mencegah penyebaran api. Karena luas lahan terbatas, dan agar tetap tersedia lahan terbuka di antara bangunan, bangunan gedung dirancang secara vertikal.
Perkembangan ini dipercepat dengan adanya penemuan bahan bangunan yang ringan dan kuat, seperti almunium, baja, berbagai ragam kaca, serta beton mutu tinggi. Hal ini membuat orang mempunyai alternatif pilihan bagi rancangan bangunan tinggi. Berbagai peralatan konstruksi yang dihasilkan pada era revolusi industri menyebabkan bangunan tinggi dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan ekonomis dengan berbagai metode pelaksanaan konstruksi. Saat ini dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komputer menyebabkan para perancang dengan mudah melakukan simulasi terhadap rancangan bangunan tinggi yang akan dibangun.
Tabel 1.1. Klasifikasi Ketinggian Bangunan
Klasifikasi | Jumlah Lantai | Ketinggian (m) | Keterangan |
---|---|---|---|
Bangunan Rendah | 1 – 4 | < 12 | Tidak menggunakan lif |
Bangunan Menengah | 5 – 8 | 12 – 30 | Lif dengan satu zona layanan |
Bangunan Tinggi | 9 – 40 | >30 – 160 | Lif dengan beberapa zona layanan |
Bangunan Pencakar Langit | 41 – 100 | >160 – 400 | Memiliki beberapa sky lobby |
Bangunan Super Tinggi | > 100 | > 400 | Memiliki beberapa sky lobby |
Batasan kategori bangunan tinggi sampai sekarang masih belum dapat disepakati secara bulat, ada yang menentukan dengan batasan jumlah lantai, ketinggian bangunan atau perbandingan antara sisi terpendek bangunan dengan total ketinggian bangunan, namun untuk sementara Tabel 1.1 dapat memberikan gambaran terkait batasan bangunan tinggi tersebut.
Perkembangan bangunan tinggi diawali dengan selesai dibangunnya Gedung St. Paul karya arsitek George B. Post di Broadway, New York yang tingginya 19 lantai pada tahun 1894. Sebelumnya di Philadelphia, Boston dan Chicago bangunan-bangunan yang ada tingginya hanya mencapai 10 lantai. Selanjutnya, pada awal tahun 1900-an, didirikan bangunan bergaya Gothic,Gedung Singer, yang tingginya 21 lantai, Menara Times (tingginya 120 m), Gedung Flatiron (tinggi 95 m), gedung Trinity dan Gedung United States Realty berlantai 34. Setelah itu dalam kurun waktu satu abad dibangun puluhan bangunan tinggi, gedung pencakar langit, yang tingginya mencapai lebih dari 100 lantai.
Perancangan bangunan tinggi mengalami beberapa tahapan:
a. Periode fungsional (The Functional Period) ditandai dengan karya Louis Sullivan dan John Wellborn Root merupakan arsitek yang mempelopori pendirian gedung pencakar langit di Chicago, seperti gedung Montouk karya Root, yang dibangun tahun 1882 merupakan bangunan tinggi yang pertama kali menggunakan lif dengan kemampuan mencapai ketinggian hingga 10 lantai.
b. Periode elektik (The Electic Period) ditandai dengan berdirinya beberapa bangunan tinggi di New York, di antaranya Metropolitan Life Insurance Tower, karya Pierre LeBrun, Woolworth Building, karya Cass Gilbert Equitable Building dan lainnya.
c. Periode elektik ini kemudian dilanjutkan dengan periode dengan munculnya desain art deco (The Art Deco Period) dengan munculnya gedung seperti Rockeffeler Center, karya Raymmond Hood dan Chrysler Building, karya William Van Alen dan Empire State Building, karya Shreve, Lamb & Harmon di New York serta Wrigley Building, karya William Wrigley di Chicago.
d. Memasuki pertengahan tahun 1900an, muncul gaya bangunan tinggi yang dikenal dengan gaya internasional (The International Style), yang dipelopori oleh konsultan arsitek Skidmore, Owings & Merill (SOM) dengan bangunan Lever House di New York, yang kemudian diikuti oleh arsitek Mies van der Rohe dengan Seagram Building di New York dan Frank Lloyd Wright di Kansas City berupa gedung Price Tower serta di banyak kota-kota besar di Amerika Serikat seperti Philadelphia, Boston, Houston, Seattle, Los Angeles, San Fransisco yang bermunculan bangunan tinggi dan gedung pencakar langit.
e. Pada periode super tinggi (The Supertall Period) banyak dibangun gedung pencakar langit, di antaranya, Gedung John Hancock Center dan Menara Sears (sekarang berubah menjadi Menara Willis) karya SOM di Chicago, Menara Kembar World Trade Center, karya Minoru Yamasaki di New York (yang runtuh pada peristiwa 11 September 2001), Gedung PPG Place dan US Steel di Pittsburg, Gedung UCB dan First Interstate Bank World Center di Los Angeles, Menara Transamerica di San Fransisco, serta sejumlah bangunan pencakar langit lainnya.
f. Setelah periode ini, banyak arsitek mulai mencoba melakukan berbagai pendekatan agar bangunan tinggi memiliki interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya (The Social Skyscraper) dengan membebaskan lantai dasar (street level) sebagai bagian dari ruang publik, yang ditandai dengan dibangunnya beberapa gedung, seperti Citicorp Center, karya Hugh Stubbins & Le Messurier di New York, Xerox Center karya Helmut Jahn di Chicago, Westcoast Transmission Building di Vancouver, Canada, dan Hongkong Shanghai Bank di Hongkong.
g. Pada dua puluh tahun terakhir bangunan tinggi banyak menggunakan pendekatan arsitektur post modern (The Post Modern Period), dengan bangunan pencakar langi yang menjulang tinggi, seperti Bank of China, karya I.M. Pei di Hongkong, Menara kembar Petronas karya Cesar Pelli di Kuala Lumpur, karya Kohn Pedersen Fox (KPF) dengan bangunan di South Wacker Drive di Chicago, sejumlah bangunan tinggi lain yang tersebar di manca negara, di antaranya di Shanghai dan Beijing di Tiongkok, Taiwan, serta Dubai, Uni Emirat Arab.
Gambar 1.7. Perbandingan Ketinggian Beberapa Bangunan Tinggi di Dunia
Di Jepang, Hongkong dan Singapura di mana lahan yang tersedia terbatas, bangunan cenderung dibangun secara vertikal, di antaranya Gedung OUB dan Menara Scotts di Singapura, Olympia Plaza dan Central Plaza di Hongkong, serta Menara Landmark di Yokohama dan Menara Millenium di Tokyo. Di kawasan Asia Pasific lainnya juga berkembang bangunan tinggi, seperti Gedung UMNO di Pulau Penang, Malaysia, Menara Jin Mao di Shanghai, China, Kingdom Center di Riyadh, Arab Saudi, Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab, dan Rialto Center di Melbourne serta Macquarie Street Tower di Sydney, Australia.
Di Eropa, ada Commerzbank di Frankfurt, Jerman, dan Menara Millenium di London, Inggris, serta Carlton Centre di Johannesburg, Afrika Selatan. Perbandingan ketinggian beberapa bangunan pencakar langit yang ada di dunia dapat dilihat pada Gambar 1.7. Dalam satu dekade terakhir ini, di Cina saja lebih dari 100 bangunan tinggi didirikan di berbagai kota, di antaranya Shanghai Tower dengan 128 lantai dengan tinggi bangunan 632 m, Ping An Finance Center di Shenzhen dengan jumlah 115 lantai dengan total ketinggian hampir 600 m, dan bangunan tinggi lain yang didirikan di kota Wuhan, Nanjin, Beijing, dan belasan kota lainnya di daratan Tiongkok. Saat ini bangunan tinggi telah melalui berbagai tahapan gaya rancang bangun yang masing-masing menghasilkan bentuk sky line kota-kota besar dan memacu orang untuk merancang bangunan yang lebih tinggi lagi, di antaranya dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Beberapa Bangunan Tinggi di Dunia
No | Bangunan Gedung | Lokasi | Tinggi (m) |
---|---|---|---|
1 | Messeturm | Frankfurt, Jerman | 260 |
2 | Landmark Tower | Yokohama, Jepang | 295 |
3 | Bank of China Tower | Hong Kong | 295 |
4 | Central Plaza | Hong Kong | 368 |
5 | Empire State Building | New York City, AS | 381 |
6 | Latour Sans Fin | Paris, Perancis | 419 |
7 | Jin Mao Building | Shanghai, Tiongkok | 421 |
8 | Asia Plaza | Kaohsiung, Taiwan | 427 |
9 | Willis Tower (dulu Sears Tower) | Chicago, AS | 442 |
10 | Petronas Towers | Kuala Lumpur, Malaysia | 452 |
11 | Chongqing Tower | Kuala Lumpur, Malaysia | 457 |
12 | Taipei 101 | Taipei, Taiwan | 509 |
13 | Lotte World Tower | Seoul, Korea Selatan | 556 |
14 | Abraj Al Bait | Mekkah, Saudi Arabia | 559 |
15 | Entisar Tower | Dubai, Uni Emirat Arab | 570 |
16 | Goldin Finance 117 | Tanjin, Tiongkok | 597 |
17 | Shanghai Tower | Shanghai, Tiongkok | 632 |
18 | Millenium Tower | Tokyo, Jepang | 800 |
19 | Burj Khalifa | Dubai, Uni Emirat Arab | 828 |
20 | Tokyo-Nara Tower | Tokyo, Jepang | 880 |
Sumber: Fu, 2018, dimodifikasi
Di Indonesia, bangunan tinggi dimulai pada tahun 1962 dengan didirikannya Gedung Sarinah, Hotel Indonesia dan Wisma Nusantara di Jalan Thamrin – Jakarta. Selanjutnya, dalam kurun waktu tiga dekade, bermunculan bangunan- bangunan tinggi di kota-kota besar di Indonesia. Di Jakarta, saat ini sudah ada lebih dari 800 bangunan tinggi di atas delapan lantai, sebagian besar berfungsi sebagai gedung perkantoran, hotel dan Apartemen. Di antara sekian banyak gedung yang ada di Jakarta tercatat: Gedung Wisma BNI, Gedung Menara Niaga, Gedung Artha Graha, Apartemen Taman Anggrek, Hotel Sultan Jakarta, dan lain-lain. Sedang yang masih dalam konsep rancangan adalah Gedung Menara Jakarta (Indonesia Tower) karya Jean-Paul Viguier, bangunan dengan ketinggian 395 m yang tediri dari 125 lantai (Gambar 1.8).
Gambar 1.8. Bangunan Tinggi di Jakarta dan Menara Jakarta
1.3. Persyaratan Kinerja Bangunan Tinggi
Untuk medukung aktivitas di dalamnya, bangunan perlu menyediakan hal-hal yang dibutuhkan bagi metabolisme manusia, seperti udara sehat dan air yang bersih, pengolahan limbah, kenyamanan termal (pengendalian suhu, kelembapan udara dan laju aliran udara), privasi, keamanan, dan keperluan aktivitas lainnya, baik yang berkaitan dengan aspek kenyamanan visual maupun kebisingan/getaran. Oleh karenanya, diperlukan pasokan tenaga listrik untuk mengoperasikan perlengkapan/peralatan bangunan yang ada, baik untuk transportasi dan distribusi, maupun untuk keperluan komunikasi, seperti telepon, siaran radio dan televisi, serta beroperasinya sistem tata udara, tata suara dan pencahayaan, pompa serta sistem keamanan.
Dalam kaitan dengan hal-hal tersebut di atas, maka bangunan perlu dipilah- pilah. Setiap elemen bangunan disesuaikan dengan kriteria dan persyaratan yang ditentukan, agar mutu bangunan yang dihasilkan sesuai dengan fungsi yang diinginkan. Keterlibatan dan keterpaduan antara sistem bangunan, metode konstruksi, teknologi bahan dan bangunan sangat berpengaruh atas kinerja bangunan yang dihasilkan (Gambar 1.9).
Sumber: Sebestyen, 2003, dimodifikasi
Gambar 1.9. Standar Kinerja Bangunan Tinggi
Menurut PP nomor 16 tahun 2021, kinerja bangunan bangunan gedung harus memenuhi standar keandalan bangunan gedung; standar keselamatan, standar kesehatan, standar kenyamanan dan standar kemudahan (Gambar 1.10).
Sumber: Juwana, 2021
Gambar 1.10. Standar Keandalan Bangunan Gedung
Dari Gambar 1.8 standar keandalan bangunan gedung dapat dirinci:
a. Keselamatan, meliputi di antaranya:
1) pemenuhan fungsi;
2) kemampuan mendukung beban;
3) kemampuan mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran; dan
4) aksesibilitas (mengacu pada universal designs).
b. Kesehatan, meliputi di antaranya:
1) penghawaan;
2) pencahayaan;
3) sanitasi; dan
4) penggunaan bahan bangunan.
c. Kenyamanan, meliputi di antaranya:
1) kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang;
2) kenyamanan termal;
3) kenyamanan audio
4) kenyamanan visual; dan
5) getaran.
d. Kemudahan, meliputi di antaranya:
1) kemudahan hubungan dalam ruang; dan
2) kelengkapan sarana prasarana dalam pemanfaatan bangunan.
Di samping itu, bangunan harus stabil dan dapat bertahan terhadap intervensi eksternal berupa bahaya api, sambaran petir dan gaya-gaya yang disebabkan oleh angin dan gempa bumi, serta agar tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan sekitarnya, perlu juga dilakukan penataan ruang luar yang sesuai dan serasi dengan menanam berbagai jenis vegetasi yang dapat mengurangi panas kawasan, menjerap polusi, mengurangi kebisingan dan menyaring debu.
Pemenuhan kinerja bangunan gedung tersebut dilakukan dengan melakukan rancangan yang menggunakan pendekatan integrasi sistem bangunan (Gambar 1.11).
Comments
Post a Comment