Arsitektur dan Integrasi Sistem Bangunan Tinggi


Bangunan  tinggi  yang  merupakan  karya  arsitek  dibangun  untuk  mencari keserasian  antara  bahan  dan alam  tanpa  harus  mencederai  lingkungan dan bumi, sehingga ruang kota tidak dipadati oleh bangunan gedung. Itulah alasan mengapa bangunan yang didirikan terutama di pusat kota di mana harga lahan sangat tinggi, memilih untuk membangun secara vertikal. Hal ini agar tercapai efektivitas dan efisiensi pemanfaatan ruang kota, serta pertimbangan investasi.

Investasi  bangunan  tinggi  yang  sangat  besar,  menyebabkan  perancangan bangunan  tinggi  perlu  dilakukan  secara  teliti  dan  terintegrasi  serta  memenuhi regulasi dan standar keandalan bangunan gedung, sehingga bangunan gedung dapat bertahan untuk waktu yang lama.

1.1.  Arsitektur dan Integrasi Sistem Bangunan 

Bangunan  gedung  merupakan  refleksi  dari  masa  lalu  dan  sekarang  dengan pertimbangan  masa  yang  akan  datang.  Oleh  karenanya  bangunan  gedung merupakan  kolaborasi  dari  berbagai  disiplin  ilmu  yang  diintegrasikan  dalam bentuk  rancangan.  Gagasan  dasar  muncul  dari  kreativitas  sang  arsitek,  baik dalam  bentuk  intuisi  (black box)  maupun  dalam  bentuk  pemrograman  yang dapat  ditelusuri  (glass box).  Rancangan  tersebut  selanjutnya  dapat diekspresikan  dalam  satu  atau  beberapa  massa  bangunan,  yang  tampilan fisiknya  dihasilkan  dari  pertimbangan  dan  rumusan  konsep-konsep  sistem bangunan,  seperti  arsitektural,  struktural,  mekanikal  dan  elektrikal,  serta lingkungan sekitar. 

Gambar 1.1. Integrasi Sistem Bangunan 

Bangunan  gedung  dapat  diibaratkan  seperti  tubuh  manusia,  di  mana  sistem pencernaan identik dengan sistem plambing, jaringan syaraf, dapat disamakan dengan sistem deteksi dini (alarm), pembuluh darah yang mengalirkan darah ke seluruh  tubuh  yang  membawa  oksigen  diibaratkan  sebagai  sistem  elektrikal, rangka  dan  tulang  belulang  merupakan  sistem  struktur,  otot  yang menggerakkan anggota tubuh seperti halnya sistem mekanikal, dan kulit serta bagian  tubuh  yang  terlihat  dari  luar  adalah  sistem  arsitektural  (Gambar  1.1). Sistem-sistem  yang  ada  pada  bangunan  berfungsi  secara  terpadu  dan komprehensif,  sehingga  perlu  dipertimbangkan  secara  holistik  agar  diperoleh hasil  rancangan  akhir  yang  optimal.  Pertimbangan  yang  hanya  didasari  atas masing-masing unsur elemen arsitektural dan ranah (domain) pembentuk hasil karya arsitektur, bukan saja akan menghasilkan karya yang sulit dipertanggung jawabkan  secara  etika  moral,  tetapi  juga  akan  membawa  dampak pada  saat pemanfaatan  bangunan  gedung  dengan  munculnya  berbagai  masalah operasional dan kesulitan pemeliharaan/perawatannya yang perlu  ditanggung oleh  pengguna/penghuni  bangunan  (user)  sepanjang  usia manfaat  bangunan gedung (building life time) tersebut.  Kemajuan dan temuan di berbagai bidang teknologi sangat mendukung karya arsitektur, khususnya di bidang struktural, konstruksi, mekanikal dan elektrikal serta bahan bangunan. 

Hal ini membuka peluang bagi arsitek untuk merancang bangunan gedung, bukan saja untuk memberi rasa nyaman dan berwawasan lingkungan,  tetapi  juga  memberi  alternatif  pilihan  agar  menghasilkan metode pengoperasian dan pemeliharaan/perawatannya yang lebih  ekonomis dan efisien.  Urutan  integrasi  rancangan di antara  sistem  bangunan  yang ada  dapat digambarkan pada bagan alir berikut ini (Gambar 1.2). 

 Gambar 1.2. Bagan Alir Urutan Integrasi Perancangan Bangunan 

ruang yang menjadi dasar bagi analisis struktur dan analisis sistem mekanikal, elektrikal  dan  plambing  (MEP), di mana diperiksa  kesesuaiannya  terhadap regulasi dan standar teknis (Standar Nasional Indonesia – SNI). Setelah semua terpenuhi,  dilanjutkan  dengan  analisis  tekno-ekonomi  yang  ditujukan  untuk mengetahui  biaya  konstruksi/investasi,  titik  impas  dan  tingkat  pengembalian investasi,  serta  disesuaikan  dengan  kesediaan  anggaran.  Umpan  balik  yang dihasilkan  setelah  peninjauan  keseuaian  atas  regulasi  dan  standar  serta anggaran,  masing-masing  akan  menjadi  masukan/umpan  balik  bagi  proses rancangan yang berlangsung secara berulang  (cyclic).   

Khusus  terkait  analisis  tekno  ekonomi  dimaksudkan  untuk  mengevaluasi rancangan  bangunan  gedung,  utamanya  terhadap  optimasi  biaya  daur  hidup bangunan  (building life cycle costs).  Hal  ini  penting  agar  dalam  perancangan bangunan gedung, pertimbangan yang dilakukan tidak semata-mata ditujukan pada  mendapatkan  biaya  awal  yang  rendah,  tetapi  juga  mempertimbangkan berbagai  kemungkinan  yang  akan  terjadi  pada  saat  bangunan  tersebut dimanfaatkan,  termasuk  pertimbangan  biaya  operasional,  pemeliharaan  dan perawatan bangunan (Gambar 1.3). 

 Gambar 1.3. Tahapan Rancangan Terintegrasi 

Persyaratan  umumnya  mengacu  pada  peraturan  perundang-undangan,  yang dalam hal ini pada Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja  dan  UU  nomor  28  tahun  2002  tentang  Bangunan  Gedung  serta turunannya, baik berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen) dan/atau Peraturan Gubernur/Walikota/Bupati  (Pergub/Perwal/Perbup)  yang  terkait  dengan penyelenggaraan  bangunan  gedung.  Sedang  standar  teknis  yang  digunakan mengacu  pada  SNI  atau  standar  internasional  yang diakui,  sejauh SNI  belum ada. 

Dua gambar berikut (Gambar 1.4) menunjukkan regulasi yang digunakan dalam penyelenggaraan  bangunan  gedung,  mulai  dari  tahap  pembangunan, pelaksanaan, pemanfaatan hingga tahap pembongkaran bangunan gedung.    

       Sumber: Juwana, 2021 diperbaharui 
Gambar 1.4. Acuan Regulasi dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung 

Saat ini, sejumlah peraturan terkait bangunan gedung sudah dirangkum dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turungannya PP nomor 16 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.  Di  samping  itu,  sejumlah  SNI  juga  digunakan  sebagai  acuan  bagi penyelenggaraan bangunan gedung (Gambar 1.5).

 Sumber: Juwana, 2021 diperbaharui 
Gambar 1.5. Acuan SNI dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung 

Daftar  regulasi  dan  SNI  yang  terkait  dengan  penyelenggaraan  bangunan gedung dapat dilihat pada Lampiran 1.  PP  no  16  tahun  2021  tentang  Peraturan  Pelaksanaan  UU  no  28  tahun  2002 tentang  Bangunan  Gedung,  yang  merupakan  turunan  UU  no  11  tahun  2020 tentang  Cipta  Kerja  disebut  juga  sebagai  persyaratan  penyelenggaraan bangunan gedung (building code) yang terdiri dari perancangan, pelaksanaan dan pengawasan, pemanfaatan serta pembongkaran bangunan gedung.  Gambar 1.6 menunjukkan SNI yang kerap digunakan dari sekitar 270 SNI yang terkait  dengan  penyelenggaraan  bangunan  gedung.  Beberapa  di  antaranya sudah  ada  SNI  yang  mengalami  revisi  dengan  edisi  yang  terbaru    dan/atau penambahan SNI baru.  Di samping itu ada SNI yang terkait dengan fungsi bangunan gedung, seperti SNI  8152:2021  tentang  Pasar  Rakyat,  SNI  03-746-2004  tentang  Terminal Penumpang Bandar Udara, SNI 03-3846-1994 tentang Tata Cara Perencanaan Teknik Bangunan Stadion, SNI 03-3847-1994 tentang Tata Cara Perencanaan Teknik Bangunan Gedung Olah Raga, dan SNI lainnya yang juga perlu dijadikan pertimbangan. 

 Sumber: Juwana, 2020 dimodifikasi 
Gambar 1.6. SNI untuk Bangunan Gedung 

1.2. Perkembangan Bangunan Tinggi

Perkembangan bangunan tinggi dimulai di Amerika Serikat pada akhir abad 19 yang dimulai setelah terjadi kebakaran besar di kota Chicago pada tanggal 8 – 10 Oktober 1871 yang  menewaskan  sekitar  300  orang dan  menyebabkan musnahnya sekitar 17.500 bangunan  gedung di areal seluas 9 km2 dan lebih dari  100.000  orang  kehilangan  tempat  tinggalnya.  Setelah  kejadian  ini  kota Chicago  mengubah  peraturan  bangunan  gedungnya  untuk  mencegah penyebaran  api.  Karena  luas  lahan  terbatas, dan  agar  tetap  tersedia  lahan terbuka di antara bangunan, bangunan gedung dirancang secara vertikal.   

Perkembangan ini dipercepat dengan adanya penemuan bahan bangunan yang ringan dan kuat, seperti almunium, baja, berbagai ragam kaca, serta beton mutu tinggi.  Hal  ini  membuat  orang  mempunyai  alternatif  pilihan  bagi  rancangan bangunan  tinggi.  Berbagai  peralatan  konstruksi  yang  dihasilkan  pada  era revolusi industri menyebabkan bangunan tinggi dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan ekonomis dengan berbagai metode pelaksanaan konstruksi. Saat ini dengan  kemajuan  di  bidang  teknologi  informasi  dan  komputer  menyebabkan para  perancang  dengan  mudah  melakukan  simulasi  terhadap  rancangan bangunan tinggi yang akan dibangun.  

Tabel 1.1. Klasifikasi Ketinggian Bangunan  

Klasifikasi Jumlah Lantai Ketinggian (m) Keterangan
Bangunan Rendah 1 – 4 < 12 Tidak menggunakan lif
Bangunan Menengah 5 – 8 12 – 30 Lif dengan satu zona layanan
Bangunan Tinggi 9 – 40 >30 – 160 Lif dengan beberapa zona layanan
Bangunan Pencakar Langit 41 – 100 >160 – 400 Memiliki beberapa sky lobby
Bangunan Super Tinggi > 100 > 400 Memiliki beberapa sky lobby

Sumber: PP no 16 tahun 2021   

Batasan  kategori  bangunan  tinggi  sampai  sekarang  masih  belum  dapat disepakati secara bulat, ada yang menentukan dengan batasan jumlah lantai, ketinggian  bangunan  atau  perbandingan  antara  sisi  terpendek  bangunan dengan  total  ketinggian  bangunan,  namun  untuk  sementara  Tabel  1.1  dapat memberikan gambaran terkait batasan bangunan tinggi tersebut.  

Perkembangan  bangunan  tinggi  diawali  dengan selesai  dibangunnya Gedung St. Paul karya arsitek George B. Post di Broadway, New York yang tingginya 19 lantai  pada  tahun  1894.  Sebelumnya  di  Philadelphia, Boston dan Chicago bangunan-bangunan  yang  ada  tingginya  hanya  mencapai  10  lantai. Selanjutnya,  pada  awal  tahun  1900-an,  didirikan  bangunan  bergaya  Gothic,Gedung Singer,  yang tingginya  21  lantai,  Menara Times (tingginya  120  m), Gedung Flatiron (tinggi 95 m), gedung Trinity dan Gedung United States Realty berlantai  34.  Setelah  itu  dalam  kurun  waktu  satu  abad  dibangun  puluhan bangunan  tinggi,  gedung  pencakar  langit, yang  tingginya  mencapai  lebih  dari 100 lantai.  

Perancangan bangunan tinggi mengalami beberapa tahapan:  

a.  Periode  fungsional  (The  Functional  Period)  ditandai  dengan  karya  Louis Sullivan  dan  John  Wellborn  Root  merupakan  arsitek  yang  mempelopori pendirian gedung pencakar langit di Chicago, seperti gedung Montouk karya Root, yang dibangun tahun 1882 merupakan bangunan tinggi yang pertama kali menggunakan  lif  dengan kemampuan  mencapai  ketinggian  hingga  10 lantai.  

b.  Periode  elektik  (The  Electic  Period)  ditandai  dengan  berdirinya  beberapa bangunan  tinggi  di  New  York,  di  antaranya  Metropolitan  Life  Insurance Tower,  karya  Pierre  LeBrun,  Woolworth  Building,  karya  Cass  Gilbert Equitable Building dan lainnya.   

c.  Periode elektik ini kemudian dilanjutkan dengan periode dengan munculnya desain art  deco  (The  Art  Deco  Period)  dengan munculnya gedung seperti Rockeffeler  Center,  karya  Raymmond  Hood  dan  Chrysler  Building,  karya William Van Alen dan Empire State Building, karya Shreve, Lamb & Harmon di New York serta Wrigley Building, karya William Wrigley di Chicago.  

d.  Memasuki pertengahan tahun 1900an, muncul gaya bangunan tinggi yang dikenal dengan gaya internasional (The International Style), yang dipelopori oleh konsultan arsitek Skidmore, Owings & Merill (SOM) dengan bangunan Lever House di New York, yang kemudian diikuti oleh arsitek Mies van der Rohe  dengan  Seagram  Building  di  New  York  dan  Frank  Lloyd  Wright  di Kansas City berupa gedung Price Tower serta di banyak kota-kota besar di Amerika  Serikat  seperti  Philadelphia,  Boston,  Houston,  Seattle,  Los Angeles,  San  Fransisco  yang  bermunculan  bangunan  tinggi  dan  gedung pencakar langit.   

e.  Pada periode super tinggi (The Supertall Period) banyak dibangun gedung pencakar  langit,  di  antaranya,  Gedung  John  Hancock  Center  dan  Menara Sears  (sekarang  berubah  menjadi  Menara  Willis)  karya  SOM  di  Chicago, Menara Kembar World Trade Center, karya Minoru Yamasaki di New York (yang runtuh pada peristiwa 11 September 2001), Gedung PPG Place dan US Steel di Pittsburg, Gedung UCB dan First Interstate Bank World Center di  Los  Angeles,  Menara  Transamerica  di  San  Fransisco,  serta  sejumlah bangunan pencakar langit lainnya.  

f.  Setelah  periode  ini,  banyak  arsitek  mulai  mencoba  melakukan  berbagai pendekatan  agar  bangunan  tinggi  memiliki  interaksi  sosial  dengan lingkungan sekitarnya (The Social Skyscraper) dengan membebaskan lantai dasar (street level) sebagai bagian dari ruang publik, yang ditandai dengan dibangunnya  beberapa  gedung,  seperti  Citicorp  Center,  karya  Hugh Stubbins & Le Messurier di New York, Xerox Center karya Helmut Jahn di Chicago,  Westcoast  Transmission  Building  di  Vancouver,  Canada,  dan Hongkong Shanghai Bank di Hongkong.  

g.  Pada  dua  puluh  tahun  terakhir  bangunan  tinggi  banyak  menggunakan pendekatan  arsitektur post modern  (The Post Modern  Period),  dengan bangunan  pencakar  langi  yang  menjulang  tinggi,  seperti Bank of China, karya I.M. Pei di Hongkong, Menara kembar Petronas karya Cesar Pelli di Kuala Lumpur, karya Kohn Pedersen Fox (KPF) dengan bangunan di South Wacker Drive di Chicago,  sejumlah  bangunan  tinggi  lain yang  tersebar  di manca negara, di antaranya di Shanghai dan Beijing di Tiongkok, Taiwan, serta Dubai, Uni Emirat Arab. 

Gambar 1.7. Perbandingan Ketinggian Beberapa Bangunan Tinggi di Dunia 

Di Jepang, Hongkong  dan  Singapura  di  mana  lahan  yang  tersedia  terbatas, bangunan cenderung dibangun secara vertikal, di antaranya Gedung OUB dan Menara  Scotts  di  Singapura,  Olympia  Plaza  dan  Central  Plaza  di  Hongkong, serta  Menara  Landmark  di  Yokohama  dan  Menara  Millenium  di  Tokyo.    Di kawasan  Asia  Pasific  lainnya  juga  berkembang  bangunan  tinggi,  seperti Gedung  UMNO  di  Pulau  Penang,  Malaysia,  Menara  Jin  Mao  di  Shanghai, China, Kingdom Center di Riyadh, Arab Saudi, Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab, dan Rialto Center di Melbourne serta Macquarie Street Tower di Sydney, Australia. 

Di  Eropa,  ada  Commerzbank  di  Frankfurt,  Jerman,  dan  Menara  Millenium  di London,  Inggris,  serta  Carlton  Centre  di  Johannesburg,  Afrika  Selatan. Perbandingan ketinggian beberapa bangunan pencakar langit yang ada di dunia dapat dilihat pada Gambar 1.7.  Dalam  satu  dekade  terakhir  ini,  di  Cina  saja  lebih  dari  100  bangunan  tinggi didirikan  di  berbagai  kota,  di  antaranya  Shanghai  Tower  dengan  128  lantai dengan tinggi bangunan 632 m, Ping An Finance Center di Shenzhen dengan jumlah 115 lantai dengan total ketinggian hampir 600 m, dan bangunan tinggi lain yang didirikan di kota Wuhan, Nanjin, Beijing, dan belasan kota lainnya di daratan Tiongkok.  Saat ini bangunan tinggi telah melalui berbagai tahapan gaya rancang bangun yang  masing-masing  menghasilkan  bentuk  sky  line  kota-kota  besar  dan memacu orang untuk merancang bangunan yang lebih tinggi lagi, di antaranya dapat dilihat pada Tabel 1.2. 

Tabel 1.2. Beberapa Bangunan Tinggi di Dunia 

No Bangunan Gedung Lokasi Tinggi (m)
1 Messeturm Frankfurt, Jerman 260
2 Landmark Tower Yokohama, Jepang 295
3 Bank of China Tower Hong Kong 295
4 Central Plaza Hong Kong 368
5 Empire State Building New York City, AS 381
6 Latour Sans Fin Paris, Perancis 419
7 Jin Mao Building Shanghai, Tiongkok 421
8 Asia Plaza Kaohsiung, Taiwan 427
9 Willis Tower (dulu Sears Tower) Chicago, AS 442
10 Petronas Towers Kuala Lumpur, Malaysia 452
11 Chongqing Tower Kuala Lumpur, Malaysia 457
12 Taipei 101 Taipei, Taiwan 509
13 Lotte World Tower Seoul, Korea Selatan 556
14 Abraj Al Bait Mekkah, Saudi Arabia 559
15 Entisar Tower Dubai, Uni Emirat Arab 570
16 Goldin Finance 117 Tanjin, Tiongkok 597
17 Shanghai Tower Shanghai, Tiongkok 632
18 Millenium Tower Tokyo, Jepang 800
19 Burj Khalifa Dubai, Uni Emirat Arab 828
20 Tokyo-Nara Tower Tokyo, Jepang 880
Sumber: Fu, 2018, dimodifikasi  

Di  Indonesia,  bangunan  tinggi  dimulai  pada  tahun  1962  dengan  didirikannya Gedung  Sarinah,  Hotel  Indonesia  dan  Wisma  Nusantara  di  Jalan  Thamrin  – Jakarta. Selanjutnya, dalam kurun waktu tiga dekade, bermunculan bangunan- bangunan tinggi di kota-kota besar di Indonesia.  Di Jakarta, saat ini sudah ada lebih dari 800 bangunan tinggi di atas delapan lantai,  sebagian  besar  berfungsi  sebagai  gedung  perkantoran,  hotel  dan Apartemen.  Di  antara  sekian  banyak  gedung  yang  ada  di  Jakarta  tercatat: Gedung Wisma BNI, Gedung Menara Niaga, Gedung Artha Graha, Apartemen Taman Anggrek, Hotel Sultan Jakarta, dan lain-lain. Sedang yang masih dalam konsep  rancangan  adalah  Gedung  Menara  Jakarta  (Indonesia  Tower)  karya Jean-Paul  Viguier,  bangunan  dengan  ketinggian  395  m  yang  tediri  dari  125 lantai (Gambar 1.8).  

 Gambar 1.8. Bangunan Tinggi di Jakarta dan Menara Jakarta 

Bangunan  tinggi  di  Indonesia  perlu  dirancang  dengan  kehati-hatian,  karena sebagian besar wilayah Indonesia termasuk dalam zona rawan bencana gempa bumi,  sehingga  ketinggian  bangunan  perlu  mempertimbangkan  kemampuan strukturnya dalam menahan beban gempa, di samping beban-beban lain yang bekerja.  

1.3. Persyaratan Kinerja Bangunan Tinggi  

Untuk medukung aktivitas di dalamnya,  bangunan perlu menyediakan hal-hal yang dibutuhkan bagi metabolisme manusia, seperti udara sehat dan air yang bersih,  pengolahan  limbah,  kenyamanan  termal  (pengendalian  suhu, kelembapan  udara  dan  laju  aliran  udara),  privasi,  keamanan,  dan  keperluan aktivitas lainnya, baik yang berkaitan dengan aspek kenyamanan visual maupun kebisingan/getaran.  Oleh  karenanya,  diperlukan  pasokan  tenaga  listrik  untuk mengoperasikan  perlengkapan/peralatan  bangunan  yang  ada,  baik  untuk transportasi  dan  distribusi,  maupun  untuk  keperluan  komunikasi,  seperti telepon,  siaran  radio  dan  televisi,  serta  beroperasinya  sistem  tata  udara,  tata suara dan pencahayaan, pompa serta sistem keamanan.   

Dalam  kaitan  dengan  hal-hal  tersebut  di  atas,  maka  bangunan  perlu  dipilah- pilah.  Setiap  elemen  bangunan  disesuaikan  dengan  kriteria  dan  persyaratan yang  ditentukan,  agar  mutu  bangunan  yang  dihasilkan  sesuai  dengan  fungsi yang diinginkan. Keterlibatan dan keterpaduan antara sistem bangunan, metode konstruksi,  teknologi  bahan  dan  bangunan  sangat  berpengaruh  atas  kinerja bangunan yang dihasilkan (Gambar 1.9).  

Sumber: Sebestyen, 2003, dimodifikasi 
Gambar 1.9. Standar  Kinerja Bangunan Tinggi   

Menurut PP nomor 16 tahun 2021, kinerja bangunan bangunan gedung harus memenuhi standar keandalan bangunan gedung; standar keselamatan, standar kesehatan, standar kenyamanan dan standar kemudahan (Gambar 1.10). 

Sumber: Juwana, 2021  
Gambar 1.10. Standar Keandalan Bangunan Gedung

Dari Gambar 1.8 standar keandalan bangunan gedung dapat dirinci: 

a.  Keselamatan, meliputi di antaranya: 
1)  pemenuhan fungsi; 
2)  kemampuan mendukung beban; 
3)  kemampuan mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran; dan 
4)  aksesibilitas (mengacu pada universal designs). 

b.  Kesehatan, meliputi di antaranya: 
1)  penghawaan; 
2)  pencahayaan; 
3)  sanitasi; dan 
4)  penggunaan bahan bangunan. 

c.  Kenyamanan, meliputi di antaranya: 
1)  kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang; 
2)  kenyamanan termal;  
3)  kenyamanan audio 
4)  kenyamanan visual; dan  
5)  getaran. 

d.  Kemudahan, meliputi di antaranya: 
1)  kemudahan hubungan dalam ruang; dan 
2)  kelengkapan sarana prasarana dalam pemanfaatan bangunan. 

Di samping itu, bangunan harus stabil dan dapat bertahan terhadap intervensi eksternal berupa bahaya api, sambaran petir dan gaya-gaya yang disebabkan oleh  angin  dan  gempa  bumi,  serta  agar  tidak  mengakibatkan  kerusakan lingkungan  sekitarnya,  perlu  juga  dilakukan  penataan  ruang  luar  yang  sesuai dan serasi dengan menanam berbagai jenis vegetasi yang dapat mengurangi panas kawasan, menjerap polusi, mengurangi kebisingan dan menyaring debu. 

Pemenuhan  kinerja  bangunan  gedung  tersebut  dilakukan  dengan  melakukan rancangan  yang  menggunakan  pendekatan  integrasi  sistem  bangunan (Gambar 1.11). 

Sumber: Ching, Onouye & Zuberbuhler, 2014. 
Gambar 1.11. Pendekatan Integrasi Sistem Bangunan  

Comments